Jakarta, 22 Maret 2025 – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memegang peranan krusial dalam memberikan peringatan dini cuaca ekstrem di Indonesia. Data yang terkumpul dianalisis oleh para ahli meteorologi untuk mengidentifikasi potensi terjadinya cuaca ekstrem seperti hujan lebat, angin kencang, dan gelombang tinggi.
Plt. Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan, dalam memberikan informasi peringatan dini cuaca ekstrem, BMKG bekerja selama 24 jam non-stop. Setiap informasi yang dihadirkan melewati serangkaian proses ilmiah dan dikerjakan dengan teliti untuk mencapai keakuratan data maksimal.
“BMKG secara terus menerus memantau kondisi atmosfer laut dan daratan menggunakan berbagai peralatan canggih seperti radar cuaca, satelit, dan stasiun pengamatan,” kata Dwikorita dalam peringatan World Meteorological Day atau Hari Meteorologi Dunia (HMD) ke-75 di Jakarta, Sabtu (22/3).
Adapun tema Internasional HMD ke-75 adalah Closing The Early Warning Gap Together dan diperingati pada tanggal 23 Maret setiap tahunnya. Tema tersebut, menurut Dwikorita harus direfleksikan dengan sungguh-sungguh untuk seluruh umat manusia di dunia—termasuk Indonesia–sebagai salah satu negeri rawan bencana di sepanjang tahun.
BMKG mencatat, data fenomena cuaca ekstrem di Indonesia per 1 Januari-17 Maret 2025 jumlahnya mencapai 1.732 kejadian. Dengan rincian, puting beliung 46, angin kencang 403, hujan lebat 1.216, petir 56, dan hujan es 11 kejadian.
Adapun dampak yang ditimbulkan dari cuaca ekstrem tersebut sampai hari ini telah mengakibatkan banjir sebanyak 750, pohon tumbang 386, tanah longsor 378, bangunan rusak 567, dan gangguan transportasi sebanyak 582. Di sisi lain, akibat cuaca ekstrem tersebut jumlah korban jiwa/luka mencapai 122 orang dan ribuan orang lainnya terdampak.
Terbaru, pada awal Maret 2025, masyarakat di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Banten (Jabodetabek) baru saja mengalami bencana kebanjiran akibat hujan lebat. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak lebih dari 37 ribu kepala keluarga terdampak banjir di Jabodetabek.
Hasil analisis BMKG, potensi cuaca ekstrem di wilayah Indonesia terjadi akibat dinamika atmosfer yang terus terjadi dan munculnya bibit siklon di dekat wilayah Indonesia. Oleh karenanya, curah hujan tinggi masih berpotensi terjadi dan perlu diwaspadai terutama di wilayah yang rentan terdampak cuaca ekstrem.
Pentingnya Mata Rantai yang Efektif
Berdasarkan data-data tersebut, Dwikorita mengajak seluruh pihak untuk memahami dan merespon peringatan dini cuaca ekstrim dengan melakukan aksi. Sebagaimana tema HMD ke-75, sudah sepatutnya gap yang terjadi selama ini harus diatasi dengan sebaik mungkin demi menjamin keselamatan masyarakat luas.
Sebagai mata rantai bencana di Indonesia, tentunya BMKG tidak bisa bertindak sendirian dan membutuhkan bantuan dari berbagai macam pihak. Kolaborasi pentahelix menjadi penting dilakukan agar seluruh pemangku kepentingan mampu bergotong royong sesuai tugas dan fungsinya masing-masing.
Adapun mata rantai kebencanaan di Indonesia sendiri seyogianya dibagi menjadi tiga tahap yaitu BMKG di hulu sebagai pemberi informasi peringatan dini, Pemerintah Daerah, BNPB, Badan SAR, media massa, TNI, dan Polri sebagai interface, dan masyarakat di hilir. Kesinambungan inilah yang harus berjalan tanpa terkecuali dan menutup gap mata rantai informasi peringatan dini bencana.
“Jika alur komunikasi ini berjalan, kami meyakini informasi peringatan dini cuaca ekstrem maupun bencana lainnya akan dapat kita mitigasi bersama. Harapannya hanya satu yaitu keselamatan masyarakat Indonesia. Jangan sampai ada lagi masyarakat yang terdampak dan harus kehilangan hal yang berharga,” katanya.
Ia menambahkan, dalam memberikan peringatan dini cuaca ekstrem, BMKG telah melakukan berbagai upaya publikasi di semua jejaring komunikasi yang tersedia mulai dari media sosial @infobmkg, aplikasi InfoBMKG, SMS blast, WhatsApp Channel, komunitas, dan website www.bmkg.go.id. Sehingga diharapkan informasi ini terus mengalir hingga didapati oleh masyarakat untuk melakukan langkah mitigasi sebelum bencana terjadi.
Pun, Dwikorita menekankan pentingnya respon cepat dari pemerintah daerah dalam menindaklanjuti peringatan dini cuaca ekstrem yang telah dikeluarkan. Meskipun BMKG telah secara aktif memberikan informasi cuaca terkini, namun kesiapan daerah dalam merespon peringatan dini masih perlu ditingkatkan.
Peran serta pemerintah daerah dalam mitigasi bencana sangat krusial dalam memastikan setiap peringatan dini ditindaklanjuti dengan langkah antisipatif di lapangan. Seyogianya, peringatan dini bukan sekadar informasi, tetapi juga seruan untuk tindakan nyata. Kecepatan dan kesiapan dalam merespons peringatan dini cuaca ekstrem sangat menentukan upaya mitigasi risiko, baik dari segi korban jiwa maupun kerugian materiil.
“Efektivitas peringatan dini ini sangat bergantung pada kesiapan daerah dalam meresponsnya dengan langkah konkret. Diperlukan koordinasi yang lebih erat antara pemerintah daerah dan masyarakat guna meminimalkan risiko bencana hidrometeorologi secara lebih cepat dan efektif,” jelasnya.
Selain itu, lanjut dia, BMKG mengajak masyarakat untuk lebih aktif mengakses informasi cuaca melalui kanal resmi BMKG, sehingga dapat mengambil langkah-langkah pencegahan lebih dini. Dengan kolaborasi yang erat antara pemerintah daerah, BMKG, dan masyarakat, diharapkan dampak dari bencana akibat cuaca ekstrem dapat diminimalkan.
“Mata rantai yang efektif sangat penting untuk meminimalkan dampak bencana dan menyelamatkan nyawa. Koordinasi yang baik antar lembaga dan masyarakat sangat diperlukan. Peningkatan kesiapsiagaan masyarakat menjadi kunci utama dalam penanggulangan bencana,” pungkasnya.
Biro Hukum, Hubungan Masyarakat, dan Kerja Sama
Instagram : @infoBMKG
X : @infoBMKG @InfoHumasBMKG
Facebook : InfoBMKG
Youtube : infoBMKG
Tiktok : infoBMKG